Wednesday, December 16, 2009

Mimpi dan Realita

Selama membaca Perahu Kertas, saya merasa kembali ke beberapa tahun silam ketika saya masih menginjak usia yang (lebih) muda. Kedua tokoh utama, Keenan dan Kugy, mengajak saya kembali menyelami alam mimpi saya yang sempat tertinggal nun jauh di sana. Kini, lembaran-lembaran itu dibuka kembali sedikit demi sedikit. Semakin banyak lembaran yang terbuka, semakin saya sadarlah pada kenyataan bahwa saya telah menjelma menjadi sebuah robot ber-Tuankan Realita.

Ya, realita sebagai seorang mahasiswi. Pelajar. Tugas seorang pelajar apa? Tentu saja belajar. Saya belajar. Saya mendapat ilmu pengetahuan. Waktu saya 'seefektif' mungkin digunakan untuk belajar. Wah, wah, wah, jadi apakah hobi-hobi saya itu sudah termakan semua oleh sebuah aktivitas bernama Belajar? Atau... Belajar itu hanya sebagai 'topeng' saja?

Sebelumnya, mari kita kembali lagi ke Pada Zaman Dahulu Kala.

Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang gadis kecil yang suka bermimpi. Dia mungkin termasuk dalam kategori pemalu untuk anak seumurannya. Menggambar adalah salah satu cara mengekspresikan dirinya. Mungkin itu satu-satunya hal yang membuat orang lain menyadari keberadaan dirinya. Selayaknya anak kecil lainnya, ia juga memiliki daftar cita-cita yang tak kalah panjang dari gulungan tisu toilet. Salah satunya adalah menjadi seorang Pelukis. Seiring dengan pertumbuhannya, bermain-main dengan warna bukanlah satu-satunya kegiatan yang ia nikmati. Ternyata, bermain-main dengan kata-kata juga menyenangkan, pikirnya.

Melukis dan Menulis.
Menulis dan Melukis.
Tepat sekali, kedua itu yang menjadi sorotan utama dalam cerita yang baru saja habis saya lahap. Kedua itu pula yang sempat menjadi teman saya dalam mengisi kekosongan waktu. Supaya lebih produktif. Sebuah produktivitas yang tidak sekedar produktif, tapi juga dinikmati. Sebuah proses belajar yang tidak hanya produktif seperti kalau mau dekat ujian, tetapi juga dinikmati.

Saat dalam umur belasan yang masih menjunjung tinggi idealisme, berbagai macam angan-angan terlukiskan dengan kombinasi warna-warni, tertuliskan dengan rangkaian kata yang indah, bolehlah saya bermimpi menjadikan salah satu dari kedua teman itu sebagai profesi. Memang bukan sebuah rencana matang, namanya juga mimpi. Memang bukan sesuatu yang sesederhana itu, namanya juga idealisme. Sampai saatnya Realita menjemput dan mengunci mereka di sebuah kotak yang saya sendiri tidak tahu apakah saya bisa membuka kotak itu kembali atau tidak.

Tujuan tulisan ini bukan untuk mencaci-maki jalan hidup yang telah membawa saya di jurusan ini. Bukan. Lagi pula, memang tidak ada tujuannya mencaci maki, karena memang saya sangat bersyukur dengan jurusan ini. Saya bersyukur karena Realita yang menjemput saya adalah Realita yang juga merupakan bagian dari diri saya.

Namun, selama tiga semester ini saya dibutakan oleh Realita yang benar-benar realistis. Saya tidak lebih dari sekedar robot. Saya tidak pernah menorehkan coretan warna-warni dan kata-kata di atas lembaran putih lagi. Yah, kalau kata-kata okelah masih ada blog ini. Tetapi untuk melukis, saya tidak pernah lagi. Saya bahkan tidak tahu apakah tangan saya ini masih mampu. Atau, jangan-jangan ia sudah kaku oleh rumus-rumus dan angka-angka.

Tetapi yang namanya realita ya juga realita. Kalau dilihat keseharian saya selama berkutat dengan rumus, angka, belum lagi ditambah dengan kegiatan esktrakulikuler, dan saat berleha-leha di dunia internet, memang 'agak mustahil' kalau di sela-sela 'kesibukan' saya itu, saya bergambar-gambar ria. Atau, sebenarnya sempat, namun semua 'kesibukan' itu hanya saya jadikan alasan saja? Atau, memang beginilah Realita?

Ada satu kutipan yang menarik dalam perjalanan saya dengan Perahu Kertas itu. Kira-kira begini bunyinya, "Berputar menjadi seseorang yang bukan kita, demi menjadi diri kita lagi." Contoh, Kugy dalam kisah itu bercita-cita menjadi seorang penulis cerita dongeng. Namun, jika kita cukup pintar mengamati selera pasar sekarang, cerita dongeng bukanlah bisnis yang menjanjikan, apalagi untuk seorang pendatang baru seperti dirinya. Jadi, demi mendapat sebuah 'nama', ia menulis cerita yang lebih dewasa dengan gaya bahasa yang sama sekali bukan dirinya. Setelah mantap dan sukses dengan karirnya, barulah ia kembali mengejar mimpinya menjadi penulis cerita dongeng. Di sinilah saatnya ia membuka kunci dari kotak yang dibawa oleh Realita. Melepaskan mimpinya dari kotak yang terkunci. Meraih mimpinya, dan menjadi dirinya lagi.

Suatu saat di masa depan, (semoga) saya bisa membuka kembali kotak itu.

"Berputar menjadi seseorang yang bukan kita, demi menjadi diri kita lagi."

No comments: